Menggapai Kebahagiaan Abadi
Oleh: RD. Costantinus Fatlolon

Salah satu dambaan mendasar setiap individu dalam hidup ini adalah memperoleh kebahagiaan. Secara leksikal, istilah kebahagiaan dipahami sebagai “kesenangan dan ketenteraman hidup (lahir batin); keberuntungan; kemujuran yang bersifat lahir batin” (KBBI Online, 2024). Dambaan itu begitu besar sehingga setiap orang, baik tua maupun muda, buruh pabrik dan kaum bermodal selalu berusaha sekuat mungkin untuk memperoleh kaulifikasi yang terbaik dalam hidupnya. Pertanyaan yang kemudian muncul ialah bentuk kebahagiaan apakah yang ingin dicapai oleh setiap orang? Dan, bagaimana orang dapat mencapai kebahagiaan dalam hidupnya?
Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, kaum hedonis yang diwakili oleh Quintus Horatius Flaccus (65 SM – 8 SM), seorang penyair terkenal Kekaisaran Romawi, mengatakan perkataan terkenal yang berbunyi: “carpe diem, quam minimum credula postero” yang berarti: “petiklah hari dan percayalah sedikit mungkin akan hari esok.” Bagi kelompok ini, bentuk kebahagiaan tak lain adalah memperoleh kenikmatan atau kesenangan saat ini sebab kebahagiaan yang sama mungkin tidak dapat lagi diperoleh pada hari-hari berikutnya.
Sementara itu, kaum utilitarian memandang bahwa kebahagiaan diukur dalam bentuk kenikmatan versus penderitaan. Bagi pendukung teori ini, setiap orang harus menghindarkan diri dari penderitaan dan mengusahakan kenikmatan sebesar-besarnya. Jeremy Bentham (1747-1748), salah satu pentolan teori ini mengatakan bahwa setiap orang harus mengusahakan “kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbesar”. Tokoh lain, John Stuart Mill (1806-1873) menambahkan dimensi kualitatif kebahagiaan dengan mengatakan bahwa “kenikmatan yang tinggi” berkaitan dengan intelektualitas dan moral, sedangkan “kenikmatan yang rendah” terkait dengan kebutuhan fisik.
Kedua teori di atas memiliki kelemahan yang sama, yaitu keduanya menempatkan bentuk dan tujuan kebahagiaan pada tataran empiris-psikologis. Maksudnya, kebahagiaan manusia tak lebih dari sebuah bentuk perasaan, pikiran, dan emosi positif terhadap hidup yang sementara dijalani saat ini. Kebahagiaan bisa dialami apabila setiap orang melakukan perubahan paradigmatik, yaitu dari perasaan, pikiran, emosi dan tindakan yang menyakitkan menuju pola pikir, pola rasa, dan pola bertindak baru yang lebih positif dan menyenangkan (bdk. Saligman, 2002).
Kekurangan pemahaman itu diatasi oleh pandangan Kristen tentang kebahagiaan sebagaimana kita dengarkan dalam perikop Injil Luk 10:25-37. Perikop ini terbagi atas tiga bagian. Pertama, dialog pendahuluan antara ahli Taurat dengan Yesus (ay. 25-28). Kedua, perumpamaan Yesus untuk menjawab pertanyaan ahli Taurat (ay. 29-35). Ketiga, dialog penutup yang berisi kesimpulan untuk menjawab pertanyaan tentang siapakah sesamaku manusia (ay. 36-37).
Pertanyaan sentral yang diajukan oleh ahli Taurat itu adalah: “Guru, apakah yang harus aku lakukan supaya memperoleh hidup yang kekal?” (Ay. 25). Pertanyaan yang hampir sama sudah diungkapan dalam Luk. 18:18 bunyinya: “Guru yang baik, apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Pertanyaan ini menunjukkan bahwa hal memperoleh hidup kekal atau masuk Kerajaan Allah merupakan pokok perhatian serius publik Yahudi.
Dalam konteks Luk. 18:18, Yesus menempatkan ajaran tentang siapa saja yang bisa masuk Kerajaan Allah, yaitu mereka yang tidak menyandarkan diri pada kekayaan materiil melainkan keterpautan pada Tuhan. Sebab bagi orang Yahudi, kekayaan merupakan berkat sedangkan kemiskian merupakan hasil ketidaksetiaan kepada Tuhan.
Dalam perikop Luk. 10:25-37, Yesus memperluas makna kebahagiaan itu pada tataran sosial. Menurutnya, orang berbahagia bukan pertama-tama karena ketaatan pada formalisme hukum atau asas legalitas, melainkan karena mengejawantahkan cinta Tuhan kepada sesama atau asas humanitas. Mencintai Tuhan berarrti mengangkat harkat dan martabat manusia, terlebih yang lemah.
Lalu siapakah itu sesama manusia? Pertanyaan ini dijawab dalam bagian kedua perikop (ay. 29-35). Istilah sesama dalam Bahasa Yunani: Plesion, menunjuk pada orang yang bukan kekuarga, atau saudara kandung. Dalam rangka menjelaskan istilah ini, Lukas menggunakan perumpamaan tentang lima orang: orang yang dirampok, seorang imam, seorang Lewi, orang Samaria, dan pemilik penginapan. Yang menjadi pokok perhatian Yesus adalah orang Samaria. Dengan perumpamaan ini, Yesus menunjukkan bahwa sesama tidak terbatas pada hubungan geneologis melainkan semua orang yang ada di sekitar kita, melampaui segala aspek primordial seperti suku, agama, ras, etnis, dlsb.
Bagian penutup berisikan kesimpulan dan saran Yesus. Kesimpulannya adalah bahwa untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah orang harus memiliki cinta dan belas kasih kepada sesama. Tetapi Ahli Taurat itu sebenarnya ingin membenarkan diri karena mengetahui hukum. Yesus membungkam mulutnya dan memberi saran: “Pergilah dan perbuatlah demikian”.
Kita bukan saja hidup untuk berbahagia di dunia ini tetapi ingin hidup dalam keabadian bersama Tuhan. Namun, kita kadang mengalami cobaan untuk membangun kebahagiaan semu dalam hal kepemilikan, prestasi dan prestise duniawi. Dalam konteks itu, Santo Thomas Aquinas secara gamblang mengingatkan kita bahwa kebahagiaan tidak pernah dapat dicapai melalui harta benda dan segala hal yang bersifat materiil. Kebahagiaan sejati, menurutnya, adalah memandang kemuliaan Tuhan (visio beatifica Dei). Pengetahuan dan hukum tentang kebahagiaan perlu tetapi yang paling penting dan mendasar ialah kita mengejawantahkan pengetahuan dan hukum melalui cinta kasih dan belas kasih kepada sesama.
Yesus ingin menyadarkan kita bahwa hidup kekal bukan masalah warisan tetapi masalah hubungan. Faktor intinya bukan perbuatan tetapi kondisi hati. Kasih Allah yang telah mengaruniakan hidup dengan menciptakan manusia dan memberikan hukum-hukum-Nya, patut disambut dengan hati penuh syukur dan kasih di pihak manusia. Mungkinkah orang mengalami kasih Allah dan hidup dalam kasih yang riil kepada-Nya namun hatinya tertutup terhadap rintih tangis sesamanya? Tidak, sebab kasih kepada Allah pasti akan mengalir dalam kasih kepada sesama (https://alkitab.sabda.org/commentary.php?passage=Luk%2010:25-37)
Injil menekankan bahwa dalam iman dan ketaatan yang menyelamatkan terkandung belas kasihan bagi mereka yang membutuhkan. Panggilan untuk mengasihi Allah adalah panggilan untuk mengasihi orang lain (https://alkitab.sabda.org/commentary.php?passage=Luk%2010:25-37).
- Hidup baru dan kasih karunia yang Kristus karuniakan bagi mereka yang menerima Dia akan menghasilkan kasih, rahmat, dan belas kasihan bagi mereka yang tertekan dan menderita. Semua orang percaya bertanggung jawab untuk bertindak menurut kasih Roh Kudus yang ada di dalam mereka dan tidak mengeraskan hati mereka.
- Mereka yang menyebut dirinya Kristen, namun hatinya tidak peka terhadap penderitaan dan keperluan orang lain, menyatakan dengan jelas bahwa di dalam diri mereka tidak terdapat hidup kekal (bdk. Luk 10:25-28,31-37; Mat 25:41-46; 1Yoh 3:16-20).
Sebuah tawaran untuk kita renungkan dan mungkin dapat laksanakan adalah membangun dalam Gereja Keuskupan, Paroki, Stasi dan Rukun, yang dapat disebut sebagai “GOOD SAMARITAN”, yaitu orang-orang Samaria yang baik hati dan berbelas kasih kepada sesama.
Ambon, 8 Juli 2025