RD. Costan Fatlolon

“Segala sesuatu adalah kesia-siaan belaka,” kata Kitab Pengkhotbah (1:2). Kata-kata ini diungkapkan oleh penulis Kitab Pengkhotbah, yaitu Raja Salomo dalam refleksinya tentang pencarian makna hidup manusia.

Salomo terkenal sebagai raja yang bijaksana. Ketika ia ditahbiskan menjadi raja Israel ia tidak meminta kekayaan atau kepopuleran melainkan hati dan pikiran yang bijaksana untuk memimpin bangsa dan rakyatnya. Tuhan sangat berkenan kepada permohonannya ini. Hasilnya adalah masa pemerintahannya membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi warganya.

Lalu apakah arti kata-kata Pengkhotbah tersebut? Apakah hidup itu begitu pesimis dan tak ada artinya untuk dijalani?

Tentu itu bukanlah maksud sang pengkhotbah. Maksud utama sang pengkhotbah adalah bahwa “seluruh kegiatan kita di atas muka bumi ini tidak ada artinya dan tidak ada tujuannya ketika dilakukan terlepas dari kehendak Allah, persekutuan, dan kegiatan kasih Allah di dalam kehidupan kita”.

Melalui kata-kata ini pengkhotbah ingin menekankan “bahwa ciptaan itu sendiri tunduk kepada kesia-siaan dan kerusakan”. Dengan pernyataan ini pengkhktbah ingin “menghancurkan semua harapan palsu umat manusia kepada dunia sekular semata-mata; ia ingin pembacanya melihat kenyataan-kenyataan serius dari kejahatan, ketidakadilan, dan kematian serta menginsafi bahwa hidup terlepas dari Allah itu sia-sia dan tidak akan menghasilkan kebahagiaan sejati.”

Lalu bagaimana jalan keluar dari kemelut hidup manusia? Menurut pengkhotbah jalan keluar dari persoalan hidup manusia “terdapat di dalam iman dan percaya kepada Allah; hanya ini yang menjadikan hidup ini bermakna. Kita harus melihat lebih jauh dari hal-hal duniawi kepada hal-hal sorgawi untuk menerima pengharapan, sukacita, dan damai sejahtera (Pengkh 3:12-17; 8:12-13; Pengkh 12:13-14).”

Hal kewaspadaan ini dapat dilihat dalam Injil hari ini, khususnya tentang penggunaan harta benda, lebih khusus lagi kaum muda.

Anak muda dalam Injil meminta bagian warisannya untuk mengusahakan hidup yang lebih sejahtera. Permintaan itu diterima bapanya. Tapi sayangnya anak muda itu tidak menggunakan kekayaan yang dimilikinya dengan bijaksana. Ia larut dalam kemewahan dan pesta pora, dan akhirnya jatuh miskin bahkan jauh lebih miskin dari teman-temannya. Ia lalu menyadari keadaanya dan menyatakan niat kembali ke rumah bapanya. Ia pun diterima dengan rasa syukur dan bahagia oleh bapanya.

Setiap orang memiliki kekayaan dalam berbagai bentuk: uang, mobil, rumah, tanah, kepandaian, keahlian, kecantikan, ketampanan, suka memberi, mudah memaafkan, dan lain sebagainya. Semua itu diberikan oleh Allah Bapa kita agar kita pergunakan untuk membangun diri dan hidup kita lebih baik.

Namun, seperti anak muda itu, kita kadang bertidak tidak waspada, tidak bijaksana, dalam menggunakan kekayaan diri kita. Kita hilang kontrol dalam kesenangan, mudah terpengaruh situasi, makan pujian dari orang lain sampai lupa diri. Kita akhirnya jatuh dalam kehampaan dan hidup yang nista dan malu yang luar biasa di hapan Tuhan dan sesama.

Saat ini kita semua menghadapi tawaran media sosial yang amat memikat. Kita kadang merasa bahwa exist di ruang maya adalah segala-galanya. Kita mendapat komentar ribuan pengikut sampai kadang lupa diri bahwa kita sudah menjadi “murah” dalam ruang publik.

Hidup yg berkenan pada Tuhan adalah yang mengikuti ajaranNya. Dunia akan tetap berjalan menurut diamikanya sendiri. Roda dunia tak akan berhenti selagi masih ada manusia yang menjadi “co-creator” Allah dalam dunia.

Kita hidup dalam dunia dan kita akan senantiasa terpengaruh ol h dinamikanya. Namun sebagai umat beriman kita tidak boleh takluk dengan kuat kuasa dunia. Imam kita akan Yesus harus mengalahkan dunia. Pengharapan kita akan hidup kekal hendaknya tidak pernah pudar. Cinta kasih kita kepada Tuhan harus senantiasa menyala dalam kegelapan dan bertahan hingga akhir.

Jalan untuk menegakkan semua jalan dan ajaran Tuhan adalah dengan kembali kepadaNya dalam syukur dan tobat yang mendalam dan tulus. 

Semua masalah dalam hidup kita memerlukan pemecahannya berdasarkan Kekuatan “yang lebih tinggi daripada hikmat, filsafat, atau gagasan manusia. Hikmat itu adalah “dari atas” (Yak 3:17), yaitu hikmat “yang tersembunyi dan rahasia, yang sebelum dunia dijadikan, telah disediakan Allah bagi kemuliaan kita” (1Kor 2:7).

Sebagaimana anak muda yang menyadari kedosaannya dan kembali kepada bapanya, hendaknya kita senantiasa berseru kepada Allah Bapa dalam doa dan permohonan. Kita harus senantiasa memohon ampun agar layak menjadi anak-anak kesayanganNya. Kita tidak dapat berdiri dengan kekuatan diri kita sendiri karena kita penuh kelemahan dan dosa. T tapi bersama Allah Bapa kita akan mampu m njalahi hidup ini dengan bijaksana.

Bagi Tuhan tidak ada kata terlambat. Ia senantiasa membuka tangan menanti kita. Apapun keadaan kita, kita tetap adalah anak-anak kesayanganNya.

Passo, 3 Agustus 2025

9 Post

Costantinus Fatlolon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

toto slot

wpChatIcon
wpChatIcon